PUJI-PUJIAN
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu : M. Rikza Chamami. M.SI.
Di Susun oleh :
1.
Ihda
Rahmania Nur ( 1403026048 )
2.
M.Ishomudin
Anfa ( 1403026049 )
3.
Yuliani
Puspita Sari ( 1403026050 )
4.
Fitriyani
Hayatul Alfat ( 1403026051)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI WALISONGO SEMARANG
TAHUN 2016
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Seiring berkembangnya zaman dan
berkembangnya teknologi yang semakin maju menyebabkan keadaan masyarakat semakin lama semakin akut karena terjangkit oleh
penyakit – penyakit peradaban modern.sehingga kadang suatu kebudayaanya sendiri
pun terabaikan bahkan tidak tau sama sekali, padahal kebudayaan khususnya
kesenian-kesenian yang ada di daerahnya masing-masing atau yang sering disebut
seni tradisional itu perlu untuk di pelajari dan dijaga kelestariannya agar kebudayaan tersebut tidak hilang dan
tidak musnah begitu saja, serta agar kita dapat mengetahui makna yang
terkandung dari sebuah tradisi .
Di dalam penulisan makalah ini kami mencoba utuk mengkaji kembali tradisi
yang semakin sepi dari bisingnya telinga, antara lain yaitu tradisi puji-pujian
yang di dalamnya berisi kata yang dibalut dengan irama syair yang indah yang
keluar dari lidah – lidah jawa. Yang mungkin
pada zaman dahulu syair sholawatan jawa atau puji - pujian itu sering
kali di kumandangkan utuk mengingatkan
atau mungkin menyinggung orang – orang yang keluar dari koridor agama.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana sejarah istilah
puji-pujian?
2.
Bagaimana sejarah puji-pujian masa
kini?
3.
Apa pengertian puji-pujian?
4.
Apa sajacakupan isi puji-pujian?
5.
Bagaimana Makna Filosofi puji-pujian
dalam Islam?
II. PEMBAHASAN
A. Sejarah istilah puji-pujian
Sejarah
dan asal usul tradisi pujian di Jawa bisa kita runut akarnya sampai dalam
sejarah kesusastraan Melayu. Diperkiraan kesusastraan islam Melayu dan
Indonesia mulai muncul pada abad ke-14 dan 15. Bentuk kegiatan penulisannya
amat bersahaja dan diperkirakan bermuka di Samudera Pasai, Malaka, dan beberapa
kota pesisir Sumatera seperti Barus dan Perlak. Samudera Pasai dan Malaka
ketika itu merupakan pusat pengembangan bahasa dan kebudayaan Melayu islam yang
penting. Melalui kota-kota perlabuhan tersebut islam tersebar ke berbagai
wilayah di Nusantara.
Dikarenakan
berbagai ajaran islam pada mulanya disampaikan melalui karya sastra, tidak
mengherankan apabila kesusastraan tumbuh menjadi fondasi kebudayaan islam di
dunia Melayu, termasuk Indonesia. Dalam kaitan ini kalangan ahli tasawuf
memainkan peran penting dalam perkembangan ini. Unsur-unsur tradisi local yang
relevan mereka serap dan kemudian diintegrasikan ke dalam sistem nilai-nilai
islam.
Pujian
dalam bentuk yang kita kenal sekarang mula-mula dikenal oleh Hamza Fansuri pada
akhir abad 16. Namun nama pujian sendiri diberikan oleh murid-murid Hamza
Fansuri pada abad ke-17 yang menulis dengan mengikuti bentuk persajakan yang
dicontohkan oleh guru mereka.
Pujian
merupakan salah satu khazanah sastra keagamaan Jawa. Oleh karena itu, untuk
mengetahui letak pujian dalam tradisi kesusastraan Indonesia diperlukan
pembahasan mengenai khazanah sastra keagaaman (islam) di Indonesia.[1]
B. Sejarah Puji-pujian di Masa Kini
Sebagai
salah satu peninggalan kebudayaan masyarakat Jawa, khususnya santri, pujian
telah mengalami dinamika perkembangan yang tidak pernah berhenti. Meskipun pada
mulanya, pujian dicetuskan oleh para walisongo, sebagai sarana dakwah dan
pengenalan substansi ajaran islam, dengan bahasa Jawa dan menggunakan
simbol-simbol/ kiasan yang sangat dekat dengan kultur mereka. Kini, pujian
sebagai warisan budaya yang bernilai seni sastra tinggi itu, masih diteruskan
dan dikembangkan oleh para penerusnya. Dan pesantren, bisa dikatakan sebagai
salah satu institusi yang selalu menjaga dan mengembangkan warisan leluhur
tersebut.
Melalui
pesantren, syair menemukan lahan suburnya dan mengalami sebuah transformasi
tidak saja dari bentuk dan strukturnya. Bahkan dari segi corak dan
karakteristik, jenis, fungsi tata bahasanya pun mengalami perkembangan sesuai
dengan tempat/lokasi di pesantren mana syi’iran itu diajarkan. Dalam konteks
ini, pujian yang berkembang di lingkungan pesantren pada masyarakat “pantura”
tentu akan berbeda dengan masyarakat pedalaman atau pegunungan. Terlebih-lebih
pada masyarakat dekat dengan daerah bekas kerajaan Jawa pada saat itu, seperti
Solo, Purworejo, Magelang, dsb.
Pujian
telah lama dijadikan media pengajaran atau dakwah (ajaran Islam) oleh para
ulama sejak dulu. Pujian adalah warisan para wali dan penyebar islam di Jawa.[2]Puji-pujian
saat ini bukan hanya menjadi bacaan sebelum shalat saja akan tetapi seiring
dengan berkembangnya zaman puji-pujian juga menjadi wasilah kita untuk
bertawasul kepada Rasulullah SAW,dan banyak yang membuat jami’iyah salawat seperti
yang sudah kita ketahui bersama Shalawat Habib Syekh Sehingga puji-pujian saat ini mulai digandrungi oleh
kalangan anak-anak, remaja, dewasa, bahkan orangtua. Mereka mengembangkan
tradisi ini dengan berbagai variasi. Di antara variasi yang berkembang secara
cepat, adalah variasi penggunaan alat musik dan menjadi sarana Tafaulan atas
kiprah yang sudah dijalani para kyai dan para wali dalam menyeberkan agama
islam.
Sebagai
usaha untuk memancing pemahaman dan penghayatan bacaan agar tawassul yang
diharapkan dari Rasulullah benar-benar diperoleh, maka bacaan tersebut diawali
dengan bacaan sulu. Bacaan sulu ini jika dibaca dengan penuh penghayatan, bisa
menjadikan pendengarnya menangis karena haru dan sedih.[3]
C. Pengertian puji-pujian
Pujian
adalah istilah khas orang NU. Pujian adalah sanjungan untuk Allah. Dalam
praktiknya, pujian bisa jadi kalimat yang mengandung pujian, namun yang sering
kita dengar adalah lantunan shalawat nabi dengan nasyidnya. Kadang juga kita
degar ungkapan ajaran/ pesan moral para Wali Songo, meski dengan bahasa Jawa yang kental. Waktu pujian biasanya
setelah adzan, sebelum shalat berjama’ah. Hal ini ditempuh karena ingin
memanfaatkan waktu, ketimbang hanya bercengkrama menanti datangnya imam
jama’ah. Sebenarnya, waktu yang Cuma sebentar ini adalah waktu istimewa,
seperti disebut dalam hadits :
لا يردّ الدّعاء بين الآذان والإقامة
“Do’a yang dipanjatkan antara
adzan dan iqamat tidak akan ditolak”.
Para makmum ( tua, muda, anak-anak ) yang telah datang lebih dahulu dari
imam dapat bersama-sama melantunkan pujian. Pujian ini akan nampak ramai
bersaut-sautan saat shalat subh, maghrib, dan Isya. Di perkampungan orang NU
yang banyak mushala dan masjid, bagi orang yang belum terbiasa mungkin sedikit
agak terganggu karena sekilas ada kesan adu kekuatan suara dan adu pengeras
yang paling baik dan mahal. Tetapi sebenarnya mereka tulus. Mereka melakukan
pujian hanyalah sekedar mengisi waktu, berdo’a, membaca shalawat atas nabi,
ketimbang ngobrol sesuatu yang bisa mendatangkan dosa.
Pujian yang dilakukan orang-orang NU
ini berdasar pada,
روينا عن أنس رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلّي
الله عليه وسلّم : لا يردّ الدّعاء بين الآذان والإقامة. رواه أبو داود والترمذي
والنسائ وابن السني وغير هم قال الترمذي حديث حسن صحيح
“Dari sahabat Anas , Rasulullah
bersabda: Tidak ditolak do’a yang dipanjatkan antara adzan dan iqamat (HR. Abu
Dawud, at-Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu as-Sunny. Imam at-Tirmidzi berkomentar :
hadits ini hasan shahih)”.
امّا في الإبتداء فالذّكر الجهريّ أنفع وقد كان صلّي
الله عليه وسلّم يأمر كلّ إنسان بما هوا لأصلح الأنفع به
“Semula dipandang zikir yang
keras itu lebih bermanfaat. Dalam sebuah hadits dinyatakan: Rasul memerintahkan
setiap orang untuk mengambil yang terbaik dan lebih bermanfaat”.
وعبارة الإيعاب ينبغي حمل قول المجموع : وإن أذي جاره
علي إيذاء خفيف يتسامح به.
“Terdapat sebuah keterangan di
dalam kitab Majmu: Kalau tidak seberapa mengganggu tetangga, bisa dimaklumi (
boleh )[4]”
Umumnya syair-syair dalam pujian berupa nasihat, petuah moral,
atau ajaran tasawuf. Tidak ada pakem tertentu mengenai jenis dan bentuk pujian,
karena itu berkembang begitu banyak lirik dan lagu pujian. Banyak kyai yang
membuat lirik sendiri yang kemudian populer dilantunkan dibanyak masjid.
Syair-syair yang populer dan kerap dilantunkan dibanyak masjid. Syair-syair
yang populer dan kerap dilantunkan dalam pujian diantaranya adalah tombo
ati, syiir tanpo wato, dan banyak lagi syair yang umumnya tanpa diberi judul.
Tradisi puji-pujian ini dipercaya
sebagai kreasi para wali penyebar agama islam di Jawa, Walisongo yang kemudian
diteruskan dan dikembangkan oleh para kiyai pesantren. Meskipun demikian,
tradisi juga memiliki akar di dalam ajaran islam. Selain itu, secara historis tradisi membaca syair di dalam masjid
juga dilakukan Nabi serta para sahabat sebagaimana tercemin dalam hadits “suatu
ketika Umar berjalan kemudian bertemu dengan Hasan bin Tsabit yang sedang
melantunkan syair di masjid. Umar menegur Hasan, namun Hasan menjawab, “ aku
telah melantunkan syair di masjid yang di dalamnya ada seorang yang lebih mulia
darimu kemudian ia menoleh kepada Abu Hurairah. Hasan melanjutkan
perkataannnya. “bukankah engkau telah mendengarkan sabda Rasulullah SAW ; jawablah
pertanyaanku, ya Allah mudah-mudahan Engkau menguatkannya dengan ruh al-Qudus;
Abu Hurairah lalu menjawab ya Allah benar (aku telah mendengarnya) hadits
riwayat Abu Dawud.
Pendapat tentang kebaikan membaca
shalawat dengan keras setelah adzan juga disampaikan oleh banyak ulama salaf.[5]
Menurut KBBI kata pujian berasal dari
kata puji yang ditambahi akhiran –an, yang artinya rasa pengakuan dan
penghargaan yang tulus akan kebaikan (keunggulan) sesuatu. Sedangkan kata pu·ji-pu·ji·an
memiliki arti perkataan
memuji-muji kebaikan (keunggulan dsb).
Masjid-masjid, mushola-mushola sering
mengumandangkan pujian atau syi’iran seperti sesaat setelah adzan menjelang
pelaksanaan sholat maktubah. Disamping masjid dan mushola, syi’iran juga umum
ditemukan diberbagai pesantren, sebagai salah satu kegiatan wajib para santri
sesaat menjelang sholat maktubah atau ketika hendak memulai pengajian.
Pemandangan yang sama juga bisa didapati pada pengajian ibu-ibu yang tersebar
di berbagai pelosok daerah terutapa Purworejo. Pujian adalah warisan dari para
wali dan penyebar islam di Jawa termasuk Solo, Magelang, dan Purworejo.[6]
D.
Cakupan
isi puji-pujian
Dilihat dari bentuk lahirnya, Syi’iran
atau pujian mencakup kalimat yang disusun teratur dan bersajak, yang dapat
dibuat melalui penguasaan ilmu arudl. Pujian
juga mencakup pengertian nadhom,
yaitu semacam not lagu untuk menyanyikan syair tertentu.Pada masyarakat Jawa
pujian merupakan alat sosialisasi ajaran islam yang paling efektif karena melalui
media kesenian yang notabennya banyak disukai orang. Puncak kejayaan pujian di
Jawa adalah berkembangnya berbagai kesenian yang bernafaskan islam pada jaman
walisongo.
Sebenarnya sampai sekarang pujian masih
dikembangkan oleh kyai-kyai desa yang berbasis aliran ahlussunnah wal jamaah, misalnya yang paling terkenal adalah pujian
gubahaan KH. Bisri Mustofa dari
Rembang. Masyarakat islam di Jawa sering melantunkan berbagai macam puji-pujian
di musholla-musholla atau di masjid-masjid setelah adzan dan sebelum iqomah.
Puji-pujian tersebut dilantunkan untuk menunggu agar semua orang-orang islam
yang ingin melaksanakan shalat bersiap-siap untuk bersuci dan bergegas menuju
masjid atau musholla dan berkumpul sampai imam shalatnya datang.
E. Filosofi puji-pujian dalam Islam
Sholawat
badar
*sholatullah
sallamullah ngala toha rrasulillah
Shalatullah
sallanullah ngala yasin habibillah*
Sandangane
diganti putih
Iku
tandane rabiso mulih
Rabiso
mulih……
Tumpaanne
kereto dowo
Roda papat
rupo menungso
Jujugane
umah guo
Tanpa
bantal tanpa kolso
Tanpa
kloso….
Ditutupi
dianjang – anjang
Diurugi
disawur kembang
Yen umaeh
ora ono lawange
Turu dewe
ora ono kancane
Ora ono
kancane…
Tonggo –
tongo podo nyawang
Podo
nangis koyo wong nembang.
|
Pakaianya
diganti putih
Itu
tandanya tidak bisa pulang
Tidak bisa
pulang…..
Naikannya
kereta panjang
Roda empat
wajah nanusia
Anteranya
rumah gua
Tanpa
bantal tanpa tikar
Tanpa
tikar….
Ditutupi
di susun – susun
Di timbun
di sirah kembang
Yang
rumahnya tidak ada pintunya
Tidur
sendiri tidak ada temanya
Tidak ada
temanya….
Tetangga –
tetangga pada melihat
Pada
menangis seperti orang nyanyi.
|
Setiap kata pada sholawatan tersebut mempunyai makna atau penafsiran
tersendiri yang terkandung didalamnya, sandangane
diganti putih ikutandane raiso mulih ,penyair mengingatkan kitabahwa setiap
manusia apa bila pakainya sudah diganti kain putih berupa kafan itu sudah tidak
bisa pulang kedunia lagi dan musnahlah semua gelamor duniawi, tumpak ane kereto dowo roda papat rupo
menungso, dan kendaraan yang dinaiki itu berupa keranda mayat yang di pikul
oleh empat orang, itulah yang namanya kendaraan terahir bagi kehidupan manusia.
jujugane omah guo tanpa bantal tanpa
keloso, kita diantarkan kerumah yang gelap gulita yaitu liang lahat, tanpa membawa
harta benda apapun, semua itu ditinggalkan kecuali kain kafan yang menempel
ditubuh dan amal shaleh, ditutupi
dianjang – anjang diurugi disawur kembang, setelah itu jasad kita ditutupi
dengan bambu atau semacamnya yang disusun lalu kita ditimbun sedangkan sanak
famili atau sahabat hanya menaburkan bunga diatas tumpukan tanah kubur kita.
yen umaeh raono lawange turu dewe
raono kancane, dandidalam kubur itu sangatlah gelap gulita, kita
terbaring sendiri tak ada satupun yang menemani kecuali belatung dan cacing
tanah yang siap untuk menggrogoti jasad kita, tonggo – tonggo podo yawing podo nangis koyo wong nembang,
sedangkan sanak famili kerabat dan para tetangga tidak ada yang bisa mengubah
takdir kematian itu keculi hanya memandangi dan menangisi kepergian kita,
kehadapan Illahirrobbi yaitu Allah Swt.
Pada dasarnya setiap manusia itu akan mengalami kematian, seharusnya
manusia itu tak harus berbangga diri atau takabur dengan apa yang dimiliki
sekarang, karna semua itu hanya kesenangan duniawi belaka, dan tidak ada
sejengkalpun dari harta benda kita yang dibawa mati kecuali amal shaleh kita,
setelah mati jasad ini hanyalah makanan cacimg dan belatung semata jadi
keanggunan paras itu tak ada artinya untuk dibanggakan.
Jadi hendaknya kita selalu ingat terhadap kematian agar kita tidak semena
–mena dalam menapaki kehidupan ini, itulah ajakan yang disampaikan oleh penyair
sholawatan jawa ini.
Unsur religi yang terkandung pada solawatan jawa sangatlah kental, karna
disetiap bait – bait syair itu mengandung ajakan, nasehat dan meyakinkan
tentang ajaran – ajaran islam yang sesungguyan, bentuk kalimat yang dipakai
pada penyampainyapun sangatlah lugas dan mudah dipahami, karna kata – kata yang
digunakan merupakan bahasa sehari – hari yang dibalut dengan syair – syair yang
sangat indah
III.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pujian
adalah istilah khas orang NU. Pujian adalah sanjungan untuk Allah. Dalam
praktiknya, pujian bisa jadi kalimat yang mengandung pujian, namun yang sering
kita dengar adalah lantunan shalawat nabi dengan nasyidnya. Kadang juga kita
degar ungkapan ajaran/ pesan moral para Wali Songo, meski dengan bahasa Jawa yang kental. Waktu pujian biasanya
setelah adzan, sebelum shalat berjama’ah dan sudah sepantasnya kita
mengagungkan Nabi Muhammad SAW, karena Nabi Muhammad memiliki kedudukan yang
sangat istimewa di kalangan umat Islam. Di kalangan masyarakat Muslim Indonesia
, kecintaan mereka kepada Nabi diwujudkan dalam tradisi keagamaan yang dikenal
dengan tradisi shalawatan. Memuliakan Nabi, menghormati dan mencintai beliau, tidak
dapat dipisahkan dari lubuk hati umat islam diseluruh dunia.
B.
Kritik dan Saran
Demikian
pemaparan makalah yang dapat disampaikan. Kami sebagai pemakalah menyadari
bahwa penyusunan makalah ini masih memiliki banyak kesalahan. Oleh Karena itu,
kritik serta saran yang membangun sangat pemakalah harapkan demi kesempurnaan
makalah yang selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat serta menambah
wawasan keilmuan dan pengetahuan para pembaca amiin.
DAFTAR PUSTAKA
Jamil Mukhsin.M . 2009. Syi’iran&TransmisiAjaran Islam
di Jawa, Semarang: IAIN
WALISONGO SEMARANG.
Wargadinata, Wildan. 2010. Spiritualitas Salawat
(Kajian Sosio-Sastra Nabi Muhammad SAW) .Malang: UIN-MALIKI PRESS (Anggota
IKAPI).
Abdul.
Munawir Fattah. 2007. Tradisi orang-orang NU. Yogyakarta: Pustaka Pesantren,
Anam. Khoirul A
dkk. 2014. Eniklopedia Nahdlatul
Ulama, Jakarta: Mata Bangsa dan PBNU.
[1]M. MukhsinJamil, Syi’iran&TransmisiAjaran Islam di Jawa, (Semarang: IAIN
WALISONGO SEMARANG, 2009), Hal. 31
[2] M. MukhsinJamil, … Hal 41-42
[3]Wildan Wargadinata, Spiritualitas Salawat
(Kajian Sosio-Sastra Nabi Muhammad SAW) , ( Malang: UIN-MALIKI PRESS
(Anggota IKAPI).2010) hlm..220-222
[4]Munawir Abdul Fattah, Tradisi orang-orang NU,( Yogyakarta: PustakaPesantren,
2007) hlm..202-205
[5]A. Khoirul Anam dkk, Eniklopedia Nahdlatul
Ulama, ( Jakarta: Mata Bangsa dan PBNU, 2014) hlm..219
Tidak ada komentar:
Posting Komentar