KEBUDAYAAN JAWA PRA ISLAM MASA HINDU BUDHA
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu : M.Rikza
Chamami. M.SI.
Di Susun oleh :
1.
Ihda
Rahmaniya Nur ( 1403026048 )
2.
Muhammad
IshomudinAnfa ( 1403026049 )
3.
Yuliani
Puspitasari ( 1403026050
)
4.
Fitriyani
Hayatul Alfath ( 1403026051 )
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
TAHUN 2016
I.
Pendahuluan
A.
Latar
Belakang
Agama-agama di Indonesia memiliki peran
sangat panjang dalam kehidupan bermasyarakat. Indonesia sering disebut Negara
kaum beragama, religious, dibuktikan dari sekian banyak agama yang diyakini
masyarakat. Jauh sebelum datangnya agama-agama besar seperti Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, dan Budha, bangsa Indonesia menganut kepercayaan kepada Tuhan
(animisme dan dinamisme). Kebudayaan Jawa
merupakan satu dari sekian banyak kebudayaan di Indonesia. Hingga saat ini,
kebudayaan ini terus berkembang seiring dengan berkembangnya pola hidup dan
faktor-faktor dalam kehidupan bermasyarakat. Kebudayaan Jawa disini adalah
nilai budaya dalam masyarakat Jawa yang dipandang perlu bagi proses
berlangsungnya hidup, karena baik secara langsung maupun tidak langsung akan
mempengaruhi tindakan-tindakan masyarakat dimana nilai tersebut dianut.
Masuknya Hindu Budha ke pulau Jawa juga
mengalami proses dan sejarah panjang. Dimana tadinya masyarakat Jawa yang masih berkepercayaan animisme
dinamisme, mulai beralih ke agama Hindu Budha. Agama Hindu Budha itu sendiri merupakan agama
yang berasal dari Negara India. Agama
Hindu sebenarnya bukanlah agama dalam arti yang biasa. Agama Hindu adalah suatu
bidang keagamaan dan kebudayaan yang meliputi zaman sejak kira-kira 1500 SM.
Sejarah telah menceritakan bahwa Hindu dan Buddha
pernah menjadi kekuatan yang besar di Jawa pada masa kerajaan-kerajaan kuno.
Oleh karena itu, hingga saat ini masih banyak kita jumpai ritual, upacara, atau
tradisi-tradisi Jawa yang lekat dengan pengaruh kebudayaan yang telah
berkembang di masa dulu, seperti kebudayaan Hindu dan Buddha. Itulah sekilas
mengenai masyarakat Jawa, dan juga agama Hindu Budha. Untuk lebih lanjutnya
tentang bagaimana sejarah masuknya agama Hindu Budha dan kondisi masyarakat
masa itu akan dibahas pada makalah ini.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
Sejarah Masuknya Hindu yang Pertama diJawa?
2.
Bagaimana
Kepercayaan Jawa pada Masa Hindu Budha?
3.
Bagaimana
Budaya Jawa pada Masa Hindu Budha
4.
Apa sajakah peninggalan
sejarah pada masa Hindu dan Buddha?
II.
PEMBAHASAN
1.
Sejarah
Masuknya Hindu yang Pertama diJawa.
Sejarah mencatat bahwa di Jawa pernah mengalami
“mutasi pertama” atau lebih tepatnya disebut indianisasi. Sebenarnya kemugkinan
adanya pengaruh India tidak pernah terdeteksi oleh para peneliti Eropa sebelum
awal abad ke-19. Rafles mengangkat indianisasi menjadi topik yang menarik
dengan mengaitkan antara Jawa dan India. Gagasan Indianisasi ini dilanjutkan
oleh para peneliti Belanda lainnya, yaitu J. L. A. Brandes (1957-1905), H. Kern
(1833-1917), N. J. Krom (1883-1945), dan W. F. Stutterheim (1892-1942).
Pertama, asal-usul suku bangsa Jawa yang
dijelaskan oleh C. C. Berg dalam bentuk legenda tentang seorang bernama Aji
Saka. Ia merupakan putra Brahmana dari tanah India. Aji datang di tanah Jawa,
dan mendapatkan sebuah negeri dengan nama Medangkamulan, kini berada di daerah
Grobogan, Purwodadi. Negeri ini dikuasai oleh raja pemakan daging manusia yang
bernama Dewatacengkar. Aji Saka menawarkan diri menjadi makanan raja dengan
syarat ia aka menerima satu bidang tanah seluas desternya sebagai ganti. Raja
pun menerima syarat ini dengan senang hati, tetapi ia terkejut karena dester
milik Aji semakin lama semakin besar, bahkan akhirnya menutupi seluruh wilayah
kerajaannya. Ia menerima kekalahannya dengan mengundurkan diri, serta
menyerahkan kekuasannya kepada Aji Saka pada tahun 78 Masehi
Menurut C. C.
Berg legenda di atas menjadi simbolisme atau lambang yang dipergunakan oleh
nenek moyang orang Jawa untuk memudahkan ingatan perhitungan awal tarikh Jawa, yaitu tarikh Saka. Hitungan ini
diawali dengan runtuhnya kepercayaan animisme karena masuknya pengaruh Hindu di
Jawa. Demikian juga syair tentang kematian dua orang pengiring Aji Saka,
menjadi suatu simbolisme yang mempermudah ingatan terhadap susunan abjad jawa.
Kedua, penafsiran
indianisasi yang lain, yang kurang historis diberikan dalam naskah Jawa abad
16, Tantu panggelaran yang merupakan
sejenis buku petunjuk pertepaan- pertepaan Hindu di Jawa. Tulisan itu
menjelaskan tentang asal mula Bhatara Guru (siva)
yang pergi ke Gunung Dieng untuk bersemedi dan meminta kepada Brahma dan Wisnu
supaya pulau Jawa diberi penghuni. Brahma menciptakan kaum laki-laki dan Wisnu
kaum perempuan, lalu semua dewa memutuskan untuk menetap di bumi baru itu dan
memindahkan Gunung Meru yang sampai saat itu terletak di Negeri Jambudvipa atau
di India. Sejak saat itu gunung tinggi yang menjadi lingga dunia (pingganingbhuwana) atau pusat dunia itu
tertanam di Jawa dan pulau Jawa menjadi kesayangan dewata
Ketiga, sebagai kelanjutan
dari teori mutasi perlu dicatat bahwa banyak nama tempat di pulau Jawa yang
berasal dari bahasa Sansekerta, yang membuktikan adanya kehendak untuk
menciptakan kembali geografi India yang dianggap keramat itu. Bukan hanya
gunung-gunungnya, tetapi juga kerajaan-kerajaan yang namanya dipinjam dari Mahabharata. Demikia pula relief-relief Borobudur tidak dapat ditafsirkan tanpa mengetahui
risalah-risalah India tentang Mahayana. Namun demikian tak mungkin antara
keduannya, yaitu Jawa dan India disatukan.[1]
Secara artefaktual, beberapa
peninggalan agama Hindu dan Budha adalah terawal yang dijumpai di Nusantara. Di
Jember pernah dijumpai arca Budha batu yang berukuran sekitar 3 m dalam sikap
berdiri. Dua arca Wisnu dijumpai pula di daerah Batujaya-Karawang, arca itu
berukura kecil dan terbuat dari batu hitam, bahan yang tidak dikenal di wiliyah
tersebut.[2]
2.
Kepercayaan
Jawa pada Masa Hindu Budha
Kakawin Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular berisikan pesan
keagamaan yang digubah dari boddhakawya sehingga berkesan bahwa ia
adalah seorang boddha, yang memuja istadewata atau Adi-Budha. Namun,
dalam Kakawin lain Uttarakanda yang ditulisnya, jelas merupakan pemujaan
kepada Dewa Wisnu. Yang lebih rumit lagi, istadewata yang dimaksud adalah Sri
Parwatarajadewa yang berarti Dewa Raja Gunung, yaitu Dewa Siwa yang dalam
mitologi India adalah menantu Himalaya. Tradisi pemujaan gunung keramat di Jawa
agaknya merupakan kepercayaan pada kekeramatan tempat-tempat tinggi yang ada
hubungannya dengan pemujaan arwah nenek moyang yang terdapat sejak lama di Asia
Tenggara pada umumnya, sebelum kedatangan agama Hindu-Budha di pulau Jawa.
Demikianlah Dewa Raja Gunung yang dimaksud agaknya adalah dewa resmi
kerajaan Majapahit. Dia bukan Siwa, bukan pula Budha, tetapi adalah Siwa-Budha,
pelindung dari Yang Mutlak (natha nina anatha), Raja dari segala Raja
Dunia (Pati ning Jagatpati), dan Dewa dari segala istadewata (sang
hyang ning hyang inisti). Dalam pantheon, kerajaan Siwa dan Budha dianggap
sama.
..........tan hana bheda sang
hyang/
Hyang Budha
rakwa kalawan Siwa rajadewa/
Kalih sameka
sira pinakesti-dharma (Arjunawijaya 27:2)
...taka ada perbedaan antara Dewa-Dewa
tersebut/
Hyang Budha sama dengan Siwa, raja
segala Dewa/
Keduanya itu sama, keduanya merupakan
tujuan dharma
Masyarakat Jawa mempunyai toleransi keagamaan yang sangat besar. Mereka
menganggap sepadan antara Budha dan para Jina lainnya dengan Siwa dan para dewa
lain. Mereka mempercayai dalam kisah pertempuran antara Porusada dengan
Sutasoma, bahwa Porusada telah berubah menjadi Maharudra atau Siwa, lalu ia
marah dan menampakkan dirinya menjadi Kala, yaitu api yang akan membakar dunia.
Cemas akan terjadi kebinasaan dunia sebelum waktunya, para dewa turun dan
membujuk Siwa, dengan menenangkan bahwa Siwa tak mungkin mengalahkan Sutasoma
yang merupakan penjelmaan Budha. Karena walaupun Siwa dan Budha adalah dua
substansi (anekadhatu) yang berlainan, tetapi tidak mungkin keduanya
dipisahkan. Dalam praktek keagamaannya, seorang pengikut agama Siwa ataupun
Budha haruslah mengetahui kedua jalan atau yoga. Artinya seorang pendeta Budha
akan gagal (tiwas) kalau tidak mengetahui jalan kesiwaan, begitu pula
sebaliknya. Karena jalan yang harus dilalui untuk menyembah Hyang Agung
adalah seperti jalan menuju puncak gunung yang dapat dicapai dari segenap
penjuru.
...Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal/
Bhineka tunggal ika tan hana darma
mangarwa (Sutasoma 139)
Pada hakekatnya yang paling dalam
Budha dan Siwa adalah satu/
Keduanya itu berbeda, tetapi itu satu, tak ada dharma yang mendua
Kepercayaan keagamaan masyarakat Jawa yang terungkap melalui kakawin pada
saat tertentu tampak berkembang dalam proses evolusi yang lamban. Namun, yang
pasti adalah bahwa kedua ideologi yang baru, baik Hindu maupun Budha, rupanya
di Jawa lebih rukun antara satu dengan yang lain daripada di India.[3]
Masuknya Bangsa India yang membawa agama dan peradaban baru diterima dan
berkembang menjadi bagian kehidupan masyarakat Jawa. Masuknya agama Hindu-Budha
bersamaan dengan munculnya sistem kerajaan, yang diperkenalkan oleh kaum
brahmana India, serta untuk memperkenalkan peradaban intelektual serta
kesejahteraan Hindu di kalangan istana. Para Brahmana bertindak sebagai
penasehat kerajaan, memberi petunjuk mengenai sistem organisasi dan upacara
kerajaan sebagai sendi dasar sebuah kerajaan.
Pengaruh Hinduisme yang paling mengakar dalam adalah di jawa. Dan terutama
di Jawa Tengah dan Jawa Timur hingga pulau Bali. Karena Hinduisme memberikan
tata tulis, perhitungan tahun saka , serta sastra yang mengandung filsafat
keagamaan beserta ajaran mistik yang cukup halus. Artinya, Hinduisme meberikan
dan mengangkat budaya intelektual selapis suku jawa dan melahirkan
kerajaan-kerajaan besar dengan budaya religi animisme dan dinamisme yang asli
dan telah mengakar dengan berbagai macam tradisi dan aturan-aturan (hukum)
adatnya. Dan Pengaruh Hindu-Budha untuk
beberapa abad, yang sudah meninggalkan warisan-warisan budaya, berupa sistem
pemerintah, tempat-tempat pemujaan, dan upacara-upacara keagamaan sangatlah
kuat. Tradisi dan budaya Jawa mulai berpadu dan mengadopsi budaya India
tersebut, agama menjadi pendukung kekuasaan, pengkultusan Dewa-Raja (raja
titisan dewa), raja menjadi pusat pengabdian dan penyembahan. Kerajaan
menempatkan nilai-nilai agama sebagai sesuatu yang sakral, tradisi kerajaan
yang menempatkan agama sebagai sendi dasar ini semakin membuat wibawa dan
keramatnya sebuah kerajaan, sehingga pihak istana mendapat perlakuan yang
istimewa dari semua kalangan.[4]
Kebudayaan Jawa menerima pengaruh Hindu-Budha tidaklah membuat jati dirinya
`hilang atau musnah, justru yang terjadi adalah kebangkitan budaya Jawa dengan
memanfaatkan unsur-unsur agama Hindu-Budha. Agama Hindu dan Budha berhasil
diserap dan dicerna, atau bahkan di-Jawakan (Simuh, 1996:115). Lahirlah agama
atau kepercayaan Hindu-Kejawen, Budha Kejawen, yang merupakan bentuk-bentuk
kepercayaan yang dipraktekan oleh pihak kerajaan dan diteruskan kepada
masyarakat. Kerajaan-kerajaan Hindu Kejawen atau Budha-Kejawen inilah yang membuat
semakin kuatnya tradisi dan kepercayaan masyarakat Jawa, yang serba
animis-dinamis.Jadi Hinduisme tidak mematikan budaya
Jawa asli,akan tetapi sebaliknya justru memupuk dan menyuburkannya. Tidak hanya
itu, Hinduisme meningkatkan filsafat hidup dan wawasan tentang alam raya
beserta teori-teori kenegaraan yang diperintah oleh para dewa.[5]
Masuknya Bangsa India yang membawa
agama dan peradaban baru diterima dan berkembang menjadi bagian kehidupan masyarakat
Jawa(Samidi Khalim, 2008:45). Berbeda dengan Animisme dan Dinamisme, agama
Hindu telah mengenal Tuhan yang disebut Trimurti, yang dilukiskan dengan
kekuatan Brahma, Syiwa, dan Wishnu. Perbedaan lainnya adalah, didalam agama
Hindu dikenal berbagai tingkatan kasta yang menyatakan derajat seseorang. Kasta
yang paling tinggi adalah kasta Brahmana, kemudian berturut-turut diikuti oleh
kasta Kesatria, kasta Weisya dan kasta Sudra. Di samping itu juga ada orang
yang tidak dapat digolongkan pada salah satu dari empat kasta tersebut, dan
orang atau masyarakat itu dinamakan golongan Paria, kasta yang paling rendah
derajatnya. Dengan
adanya kasta tersebut, pada umumnya orang Jawa asli enggan untuk masuk agama
Hindu, karena mereka dimasukkan ke dalam kasta Sudra. Karena adanya sistem
kasta itu maka agama Animisme dan Dinamisme, yang kemudian juga disebut agama
Jawa, masih tetap bertahan dengan jumlah pengikut yang cukup banyak.
Dengan
berdirinya kerajaan Buddha di Sumatera, yaitu Sriwijaya yang berkembang di
bawah pengaruh China, agama Buddha juga masuk ke pulau Jawa. Pada abad ke-10
agama baru ini merupakan pesaing yang cukup berat bagi agama Hindu. Orang Jawa
banyak yang tertarik dengan agama Buddha karena tidak mengenal kasta seperti
agama Hindu. Runtuhnya kerajaan Mataram Hindu pada abad ke-10 juga karena perseteruan
antara kerajaan Hindu dengan kerajaan Buddha.[6]
Kepercayaan pada zaman Hindu-Budha lebih mengenalkan penyembahan kepada dewa.
Kepercayaan ini memiliki dewa dengan bermacam nama, kedudukan, dan juga
fungsinya masing-masing. Seperti dewa Siwa yang memiliki kekuatan perusak.
Namun, intinya hanya ada satu dewa yang sangat kuat dan berkuasa yaitu Brahma.
3.
Budaya
Jawa pada Masa Hindu Budha
Pada
dasarnya budaya di Masa Hindu Budha merupakan manifestasi kepercayaan Jawa
Hindu Budha semenjak datangnya Hindu Budha ditanah Jawa. Kegiatan tersebut
berupa upacara, tradisi yang sebagian masih dapat dilihat keberadaannya sampai
saat ini. Upacara tersebut dilakukan untuk memperoleh kesejahteraan dari para
Dewa.
Sejak masuk dijawa, Islam bertemu
dengan nilai-nilai Hindu-Budha yang sudah mengakar kuat di masyarakat.Tentu
saja nilai-nilai Hindu-Budha juga sebelumnya telah mengakomodasi religi
animisme dan dinamisme sebagai nilai-nilai awal yang telah ada. [7]
Di masa Majapahit, para
agamawan melaksanakan ritual kerajaan dengan baik, dan menjaga candi-candi yang
kebanyakan merupakan tempat pemujaan leluhur raja. Masyarakat Jawa dimasa Hindu
terbagi menjadi tiga golongan.Pertama, Terdiri dari kaum agamawan Hindu
dan Budha yang memiliki tanah bebas pajak. Kedua, keluarga raja yang
berkuasa atas para raka(penguasa) lokal dengan bantuan kaum agamawan dan yang Ketiga
adalah masyarakat desa biasa yang dipungut pajak oleh raja dengan perantaraan mangilala
drwya aji atau pemanen pajak.
Di masa Majapahit, para
agamawan melaksanakan ritual kerajaan dengan baik, dan menjaga candi-candi yang
kebanyakan merupakan tempat pemujaan leluhur. Masyarakat juga melakukan upacara
wiwit (permulaan musim tanam) yang diwujudkan pada pemujaan dewi padi,
yakni Dewi Sri. Mereka yang hendak menuai padi yang menguning, sebelumnya
beberapa bulir padi dipungut dan dibentuk seperti dua orang (melambangkan
sepasang pengantin) yang dipertemukan dan diarak pulang, diharapkan nantinya
sepasang pengantin padi ini akan mendatangkan panen yang beik. Para petani akan
mempersembahkan ikatan-ikatan padi pertama yang disimpan dengan khidmat sampai
masa penebaran benih masa berikutnya.
Selain itu, ada banyak upacara lain yang dilakukan oleh masyarakat Jawa.
Beberapa di antaranya adalah ritual kesuburan agar manusia dikaruniai keturunan
yang banyak. Upacara kurban kerbau yang sampai saat ini masih banyak
dijalankan. Pagelaran wayang kulit dengan berbagai ritual yang menyertainya
dimana dalang adalah penggerak dunia gaib. Pengkultusan Ratu Kidul yang masih
dilakukan beberapa orang hingga saat ini. Upacara perawatan dan penjamasan
pusaka (keris) sebagai tanda kebesaran. Upacara keagamaan garebeg dengan
penampilan nasi tumpeng (berbentuk kerucut), upacara sekaten, slametan,
mengadakan ritual untuk meghormati arwah nenek moyang dengan sajian kue
pada hari tertentu setelah pembakaran jenazah, dan ritual itu dilakukan sampai
turunan keenam.[8]
Berkembangnya kepercayaan Hindu dan Buddha tidak hanya terkait ritual
keagamaan, akan tetapi hingga ke ranah politik. Satu persatu kerajaan-kerajaan
bercorak Hindu-Buddha muncul di berbagai wilayah di Nusantara. Sebut saja
kerajaan Kutai, kerajaan Tarumanegara, kerajaan Melayu, kerajaan Sriwijaya,
kerajaan Mataram, kerajaan-kerajaan di Bali, kerajaan Singhasari, kerajaan
Majapahit, kerajaan Syailendra, dan berbagai kerajaan lainnya.
4.
peninggalan sejarah
pada masa Hindu dan Buddha
Hindu dan Buddha yang berkembang dengan pesat dan luas di Nusantara, tidak
hanya meninggalkan cerita betapa majunya peradaban di Nusantara ini di masa
lalu, atau tradisi dan prinsip hidup yang masih terjaga hingga saat ini.
Berkembangnya kerajaan-kerajaan bercorak Hindu dan Buddha di Nusantara juga
meninggalkan berbagai bangunan atau benda benda bersejarah yang ada hingga saat
ini.
Beberapa di antaranya adalah prasasti-prasasti, seperti prasasti Yupa,
prasasti Ciareteun, prasasti Kebun Kopi, prasasti Koleangkak, prasasti Tugu,
prasasti Pasir Awi, prasasti Muara Cianten, prasasti Cidanghiang, prasasti
Kalasan, prasasti Kelurak, prasasti Nalanda, prasasti Lebak, prasasti
Cunggrang, prasasti Kanuhuran, prasasti Talang Tuo dan lain sebagainya. Beberapa
candi seperti candi Borobudur, candi Prambanan, candi Muara Takus, Candi
Mendut, candi Plaosan, candi Sewu dan candi-candi lainnya. Serta beberapa arca
seperti arca Rajarsi, arca Wisnu Cibuaya I, arca Wisnu Cibuaya II, arca Ganesha, arca
Gandara dan lain sebagainya.
Selain itu ada banyak karya sastra yang menjadi dokumen sejarah pada masa
itu, di antaranya adalah Baratayuda yang merupakan karya terjemahan Mpu
Sedah dari Epos India Mahabarata. Gubahan sastra keagamaan Ramayana
dan Mahabarata dalam berbentuk puisi yang disebut serat Kakawin. Selain
itu, ada juga serat Negarakertagama dan Sutasoma karya Mpu
Tantular,[9]
Arjunawiwaha Kakawin karya Mpu Kanwa, Gatotkacasraya Kakawin karya
Mpu Panuluh, Kresnayana Kakawin karya Mpu Triguna, Sumanasontaka
Kakawin karya Mpu Monaguna, Smaradhahana Kakawin karya Dharmaja, Wrtasancaya
Kakawin karya Mpu Tanakung, Tantu Panggelaran,Calon Arang, Bubuksah,
Ranggalawe, Sorandaka, kitab Agastyparwa, kitab Pararaton, kitab
Brahmandapurana, dan lain sebagainya.
III.PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sejarah
mencatat bahwa di Jawa pernah mengalami “mutasi pertama” atau lebih tepatnya
disebut indianisasi. Masuknya Bangsa India yang membawa agama dan peradaban
baru diterima dan berkembang menjadi
bagian kehidupan masyarakat Jawa(Samidi Khalim, 2008:45). Berbeda dengan
Animisme dan Dinamisme, agama Hindu telah mengenal Tuhan yang disebut Trimurti,
yang dilukiskan dengan kekuatan Brahma, Syiwa, dan Wishnu. Kepercayaan pada
zaman Hindu-Budha lebih mengenalkan penyembahan kepada dewa. Kepercayaan ini
memiliki dewa dengan bermacam nama, kedudukan, dan juga fungsinya
masing-masing. Seperti dewa Siwa yang memiliki kekuatan perusak. Namun, intinya
hanya ada satu dewa yang sangat kuat dan berkuasa yaitu Brahma Kebudayaan Jawa
pada masa Hindu dan Buddha mendapat pengaruh yang kuat dari kepercayaan yang
dianut masyarakat dan kondisi sosialnya.
Agama Hindu dan
Buddha yang berkembang pesat pada saat itu terinterpretasikan melalui kegiatan
keagamaan. Kegiatan kebudayaan Jawa pada
masa ini berupa upacara-upacara, ritual-ritual, dan tradisi-tradisi dalam masyarakat
Jawa. Upacara-upacara tersebut dilakukan untuk memperoleh kesejahteraan dari
para Dewa Berkembangnya kepercayaan Hindu dan Buddha tidak hanya hanya terkait
ritual keagamaan, akan tetapi hingga ke ranah politik. Satu persatu
kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Buddha muncul di berbagai wilayah di
Nusantara. Sebut saja kerajaan Kutai, kerajaan Tarumanegara, kerajaan Melayu,
kerajaan Sriwijaya, kerajaan Mataram, kerajaan-kerajaan di Bali, kerajaan
Singhasari, kerajaan Majapahit, kerajaan Syailendra, dan berbagai kerajaan
lainnya.
B.
Kritik
dan Saran
Makalah yang kami sajikan tentunya
masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam penyusunannya. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan dalam penyempurnaan
makalah selanjutnya . Semoga makalah ini dapat memberikan manfa’at untuk kita
semua. Amiin.
IV.DAFTAR PUSTAKA
Amin.M.Darori.2000.Islam dan Kebudayaan
Jawa. Yogyakarta: GAMA MEDIA.
Anasom.2015. Interrelasi
Islam dan Budaya Jawa. Semarang : CV.Karya Abadi Jaya..
Islam Jawa,2006. TUGU PUBLISHER.
Peni Mukhlis.
2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia.
Jakarta: Rajawali pers.
Simon. Hasanu,2007 Misteri Syekh Siti Jenar:
Peran Wali Songo dalam Mengislamkan Tanah Jawa. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Sofwan .Ridin dkk. 2004. Merumuskan Kembali Interelasi
Islam-Jawa. Yogyakarta: GAMA MEDIA.
Suhandjati.Sri, 2015. Islam dan Kebudayaan Jawa
Revitalisasi Kearifan Lokal, Semarang: CV.Karya Abadi Jaya.
[2] Mukhlis Paeni, Sejarah Kebudayaan Indonesia.(Jakarta:
Rajawali pers.2009)hlm..36.
[4] DRrs.Ridin
Sofwan,M.Pd.,dkk. Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa. (Yogyakarta:
GAMA MEDIA. 2004).hlm...27-31.
[6] Prof. Dr. Hasanu Simon, Misteri
Syekh Siti Jenar: Peran Wali Songo dalam Mengislamkan Tanah Jawa.
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007),hlm. 23-25.
[7] Drs.H.Anasom M.Hum. Interrelasi Islam dan Budaya Jawa.( Semarang :
CV.Karya Abadi Jaya: 2015).hlm.
[8] Prof, Dr Sri Suhandjati, Islam
dan Kebudayaan Jawa Revitalisasi Kearifan Lokal, ( Semarang: CV.Karya Abadi
Jaya.2015).hlm...41.
[9] Anasom, dkk, Membangun Negara Bermoral: Etika Bernegara dalam
Naskah Klasik Jawa-Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra,2004),
hlm 18.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar