Rabu, 04 Januari 2017

Puji-pujian




PUJI-PUJIAN
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu : M. Rikza Chamami. M.SI.
Di Susun oleh :
1.      Ihda Rahmania Nur                ( 1403026048 )
2.      M.Ishomudin Anfa                 ( 1403026049 )
3.      Yuliani Puspita Sari                ( 1403026050 )
4.      Fitriyani Hayatul Alfat           ( 1403026051)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI WALISONGO SEMARANG
TAHUN  2016



I.     PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Seiring berkembangnya zaman dan berkembangnya teknologi yang semakin maju menyebabkan keadaan masyarakat semakin lama semakin akut karena terjangkit oleh penyakit – penyakit peradaban modern.sehingga kadang suatu kebudayaanya sendiri pun terabaikan bahkan tidak tau sama sekali, padahal kebudayaan khususnya kesenian-kesenian yang ada di daerahnya masing-masing atau yang sering disebut seni tradisional itu perlu untuk di pelajari dan dijaga kelestariannya  agar kebudayaan tersebut tidak hilang dan tidak musnah begitu saja, serta agar kita dapat mengetahui makna yang terkandung dari sebuah tradisi .
Di dalam penulisan makalah ini kami mencoba utuk mengkaji kembali tradisi yang semakin sepi dari bisingnya telinga, antara lain yaitu tradisi puji-pujian yang di dalamnya berisi kata yang dibalut dengan irama syair yang indah yang keluar dari lidah – lidah jawa. Yang mungkin  pada zaman dahulu syair sholawatan jawa atau puji - pujian itu sering kali di kumandangkan  utuk mengingatkan atau mungkin menyinggung orang – orang yang keluar dari koridor agama.
B.       Rumusan Masalah
1.    Bagaimana sejarah istilah puji-pujian?
2.    Bagaimana sejarah puji-pujian masa kini?
3.    Apa pengertian puji-pujian?
4.    Apa sajacakupan isi puji-pujian?
5.    Bagaimana Makna Filosofi puji-pujian dalam Islam?












II.  PEMBAHASAN
A.  Sejarah istilah puji-pujian
Sejarah dan asal usul tradisi pujian di Jawa bisa kita runut akarnya sampai dalam sejarah kesusastraan Melayu. Diperkiraan kesusastraan islam Melayu dan Indonesia mulai muncul pada abad ke-14 dan 15. Bentuk kegiatan penulisannya amat bersahaja dan diperkirakan bermuka di Samudera Pasai, Malaka, dan beberapa kota pesisir Sumatera seperti Barus dan Perlak. Samudera Pasai dan Malaka ketika itu merupakan pusat pengembangan bahasa dan kebudayaan Melayu islam yang penting. Melalui kota-kota perlabuhan tersebut islam tersebar ke berbagai wilayah di Nusantara.
Dikarenakan berbagai ajaran islam pada mulanya disampaikan melalui karya sastra, tidak mengherankan apabila kesusastraan tumbuh menjadi fondasi kebudayaan islam di dunia Melayu, termasuk Indonesia. Dalam kaitan ini kalangan ahli tasawuf memainkan peran penting dalam perkembangan ini. Unsur-unsur tradisi local yang relevan mereka serap dan kemudian diintegrasikan ke dalam sistem nilai-nilai islam.
Pujian dalam bentuk yang kita kenal sekarang mula-mula dikenal oleh Hamza Fansuri pada akhir abad 16. Namun nama pujian sendiri diberikan oleh murid-murid Hamza Fansuri pada abad ke-17 yang menulis dengan mengikuti bentuk persajakan yang dicontohkan oleh guru mereka.
Pujian merupakan salah satu khazanah sastra keagamaan Jawa. Oleh karena itu, untuk mengetahui letak pujian dalam tradisi kesusastraan Indonesia diperlukan pembahasan mengenai khazanah sastra keagaaman (islam) di Indonesia.[1]
B.       Sejarah Puji-pujian di Masa Kini
Sebagai salah satu peninggalan kebudayaan masyarakat Jawa, khususnya santri, pujian telah mengalami dinamika perkembangan yang tidak pernah berhenti. Meskipun pada mulanya, pujian dicetuskan oleh para walisongo, sebagai sarana dakwah dan pengenalan substansi ajaran islam, dengan bahasa Jawa dan menggunakan simbol-simbol/ kiasan yang sangat dekat dengan kultur mereka. Kini, pujian sebagai warisan budaya yang bernilai seni sastra tinggi itu, masih diteruskan dan dikembangkan oleh para penerusnya. Dan pesantren, bisa dikatakan sebagai salah satu institusi yang selalu menjaga dan mengembangkan warisan leluhur tersebut.
Melalui pesantren, syair menemukan lahan suburnya dan mengalami sebuah transformasi tidak saja dari bentuk dan strukturnya. Bahkan dari segi corak dan karakteristik, jenis, fungsi tata bahasanya pun mengalami perkembangan sesuai dengan tempat/lokasi di pesantren mana syi’iran itu diajarkan. Dalam konteks ini, pujian yang berkembang di lingkungan pesantren pada masyarakat “pantura” tentu akan berbeda dengan masyarakat pedalaman atau pegunungan. Terlebih-lebih pada masyarakat dekat dengan daerah bekas kerajaan Jawa pada saat itu, seperti Solo, Purworejo, Magelang, dsb.
Pujian telah lama dijadikan media pengajaran atau dakwah (ajaran Islam) oleh para ulama sejak dulu. Pujian adalah warisan para wali dan penyebar islam di Jawa.[2]Puji-pujian saat ini bukan hanya menjadi bacaan sebelum shalat saja akan tetapi seiring dengan berkembangnya zaman puji-pujian juga menjadi wasilah kita untuk bertawasul kepada Rasulullah SAW,dan banyak yang membuat jami’iyah salawat seperti yang sudah kita ketahui bersama Shalawat Habib Syekh  Sehingga  puji-pujian saat ini mulai digandrungi oleh kalangan anak-anak, remaja, dewasa, bahkan orangtua. Mereka mengembangkan tradisi ini dengan berbagai variasi. Di antara variasi yang berkembang secara cepat, adalah variasi penggunaan alat musik dan menjadi sarana Tafaulan atas kiprah yang sudah dijalani para kyai dan para wali dalam menyeberkan agama islam.
Sebagai usaha untuk memancing pemahaman dan penghayatan bacaan agar tawassul yang diharapkan dari Rasulullah benar-benar diperoleh, maka bacaan tersebut diawali dengan bacaan sulu. Bacaan sulu ini jika dibaca dengan penuh penghayatan, bisa menjadikan pendengarnya menangis karena haru dan sedih.[3]
C.  Pengertian puji-pujian
Pujian adalah istilah khas orang NU. Pujian adalah sanjungan untuk Allah. Dalam praktiknya, pujian bisa jadi kalimat yang mengandung pujian, namun yang sering kita dengar adalah lantunan shalawat nabi dengan nasyidnya. Kadang juga kita degar ungkapan ajaran/ pesan moral para Wali Songo, meski dengan bahasa  Jawa yang kental. Waktu pujian biasanya setelah adzan, sebelum shalat berjama’ah. Hal ini ditempuh karena ingin memanfaatkan waktu, ketimbang hanya bercengkrama menanti datangnya imam jama’ah. Sebenarnya, waktu yang Cuma sebentar ini adalah waktu istimewa, seperti disebut dalam hadits :


لا يردّ الدّعاء بين الآذان والإقامة
“Do’a yang dipanjatkan antara adzan dan iqamat tidak akan ditolak”.
Para makmum ( tua, muda, anak-anak ) yang telah datang lebih dahulu dari imam dapat bersama-sama melantunkan pujian. Pujian ini akan nampak ramai bersaut-sautan saat shalat subh, maghrib, dan Isya. Di perkampungan orang NU yang banyak mushala dan masjid, bagi orang yang belum terbiasa mungkin sedikit agak terganggu karena sekilas ada kesan adu kekuatan suara dan adu pengeras yang paling baik dan mahal. Tetapi sebenarnya mereka tulus. Mereka melakukan pujian hanyalah sekedar mengisi waktu, berdo’a, membaca shalawat atas nabi, ketimbang ngobrol sesuatu yang bisa mendatangkan dosa.
                 Pujian yang dilakukan orang-orang NU ini berdasar pada,
روينا عن أنس رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلّي الله عليه وسلّم : لا يردّ الدّعاء بين الآذان والإقامة. رواه أبو داود والترمذي والنسائ وابن السني وغير هم قال الترمذي حديث حسن صحيح
“Dari sahabat Anas , Rasulullah bersabda: Tidak ditolak do’a yang dipanjatkan antara adzan dan iqamat (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu as-Sunny. Imam at-Tirmidzi berkomentar : hadits ini hasan shahih)”.
امّا في الإبتداء فالذّكر الجهريّ أنفع وقد كان صلّي الله عليه وسلّم يأمر كلّ إنسان بما هوا لأصلح الأنفع به
“Semula dipandang zikir yang keras itu lebih bermanfaat. Dalam sebuah hadits dinyatakan: Rasul memerintahkan setiap orang untuk mengambil yang terbaik dan lebih bermanfaat”.
وعبارة الإيعاب ينبغي حمل قول المجموع : وإن أذي جاره علي إيذاء خفيف يتسامح به.
“Terdapat sebuah keterangan di dalam kitab Majmu: Kalau tidak seberapa mengganggu tetangga, bisa dimaklumi ( boleh )[4]
Umumnya syair-syair dalam pujian berupa nasihat, petuah moral, atau ajaran tasawuf. Tidak ada pakem tertentu mengenai jenis dan bentuk pujian, karena itu berkembang begitu banyak lirik dan lagu pujian. Banyak kyai yang membuat lirik sendiri yang kemudian populer dilantunkan dibanyak masjid. Syair-syair yang populer dan kerap dilantunkan dibanyak masjid. Syair-syair yang populer dan kerap dilantunkan dalam pujian diantaranya adalah tombo ati, syiir tanpo wato, dan banyak lagi syair yang umumnya tanpa diberi judul.
Tradisi puji-pujian ini dipercaya sebagai kreasi para wali penyebar agama islam di Jawa, Walisongo yang kemudian diteruskan dan dikembangkan oleh para kiyai pesantren. Meskipun demikian, tradisi juga memiliki akar di dalam ajaran islam.   Selain itu, secara historis tradisi membaca syair di dalam masjid juga dilakukan Nabi serta para sahabat sebagaimana tercemin dalam hadits “suatu ketika Umar berjalan kemudian bertemu dengan Hasan bin Tsabit yang sedang melantunkan syair di masjid. Umar menegur Hasan, namun Hasan menjawab, “ aku telah melantunkan syair di masjid yang di dalamnya ada seorang yang lebih mulia darimu kemudian ia menoleh kepada Abu Hurairah. Hasan melanjutkan perkataannnya. “bukankah engkau telah mendengarkan sabda Rasulullah SAW ; jawablah pertanyaanku, ya Allah mudah-mudahan Engkau menguatkannya dengan ruh al-Qudus; Abu Hurairah lalu menjawab ya Allah benar (aku telah mendengarnya) hadits riwayat Abu Dawud.
Pendapat tentang kebaikan membaca shalawat dengan keras setelah adzan juga disampaikan oleh banyak ulama salaf.[5]
Menurut KBBI kata pujian berasal dari kata puji yang ditambahi akhiran –an, yang artinya rasa pengakuan dan penghargaan yang tulus akan kebaikan (keunggulan) sesuatu. Sedangkan kata pu·ji-pu·ji·an memiliki arti perkataan memuji-muji kebaikan (keunggulan dsb).
Masjid-masjid, mushola-mushola sering mengumandangkan pujian atau syi’iran seperti sesaat setelah adzan menjelang pelaksanaan sholat maktubah. Disamping masjid dan mushola, syi’iran juga umum ditemukan diberbagai pesantren, sebagai salah satu kegiatan wajib para santri sesaat menjelang sholat maktubah atau ketika hendak memulai pengajian. Pemandangan yang sama juga bisa didapati pada pengajian ibu-ibu yang tersebar di berbagai pelosok daerah terutapa Purworejo. Pujian adalah warisan dari para wali dan penyebar islam di Jawa termasuk Solo, Magelang, dan Purworejo.[6]
D.       Cakupan isi puji-pujian
Dilihat dari bentuk lahirnya, Syi’iran atau pujian mencakup kalimat yang disusun teratur dan bersajak, yang dapat dibuat melalui penguasaan ilmu arudl. Pujian juga mencakup pengertian nadhom, yaitu semacam not lagu untuk menyanyikan syair tertentu.Pada masyarakat Jawa pujian merupakan alat sosialisasi ajaran islam yang paling efektif karena melalui media kesenian yang notabennya banyak disukai orang. Puncak kejayaan pujian di Jawa adalah berkembangnya berbagai kesenian yang bernafaskan islam pada jaman walisongo.
Sebenarnya sampai sekarang pujian masih dikembangkan oleh kyai-kyai desa yang berbasis aliran ahlussunnah wal jamaah, misalnya yang paling terkenal adalah pujian gubahaan KH. Bisri Mustofa dari Rembang. Masyarakat islam di Jawa sering melantunkan berbagai macam puji-pujian di musholla-musholla atau di masjid-masjid setelah adzan dan sebelum iqomah. Puji-pujian tersebut dilantunkan untuk menunggu agar semua orang-orang islam yang ingin melaksanakan shalat bersiap-siap untuk bersuci dan bergegas menuju masjid atau musholla dan berkumpul sampai imam shalatnya datang.








E.  Filosofi puji-pujian dalam Islam
Sholawat badar
*sholatullah sallamullah ngala toha rrasulillah
Shalatullah sallanullah ngala yasin habibillah*

Sandangane diganti putih
Iku tandane rabiso mulih
Rabiso mulih……
Tumpaanne kereto dowo
Roda papat rupo menungso

Jujugane umah guo
Tanpa bantal tanpa kolso
Tanpa kloso….
Ditutupi dianjang – anjang
Diurugi disawur kembang

Yen umaeh ora ono lawange
Turu dewe ora ono kancane
Ora ono kancane…
Tonggo – tongo podo nyawang
Podo nangis koyo wong nembang.
Pakaianya diganti putih
Itu tandanya tidak bisa pulang
Tidak bisa pulang…..
Naikannya kereta panjang
Roda empat wajah nanusia

Anteranya rumah gua
Tanpa bantal tanpa tikar
Tanpa tikar….
Ditutupi di susun – susun
Di timbun di sirah kembang

Yang rumahnya tidak ada pintunya
Tidur sendiri tidak ada temanya
Tidak ada temanya….
Tetangga – tetangga pada melihat
Pada menangis seperti orang nyanyi.
Setiap kata pada sholawatan tersebut mempunyai makna atau penafsiran tersendiri yang terkandung didalamnya, sandangane diganti putih ikutandane raiso mulih ,penyair mengingatkan kitabahwa setiap manusia apa bila pakainya sudah diganti kain putih berupa kafan itu sudah tidak bisa pulang kedunia lagi dan musnahlah semua gelamor duniawi, tumpak ane kereto dowo roda papat rupo menungso, dan kendaraan yang dinaiki itu berupa keranda mayat yang di pikul oleh empat orang, itulah yang namanya kendaraan terahir bagi kehidupan manusia.
jujugane omah guo tanpa bantal tanpa keloso, kita diantarkan kerumah yang gelap gulita yaitu liang lahat, tanpa membawa harta benda apapun, semua itu ditinggalkan kecuali kain kafan yang menempel ditubuh dan amal shaleh, ditutupi dianjang – anjang diurugi disawur kembang, setelah itu jasad kita ditutupi dengan bambu atau semacamnya yang disusun lalu kita ditimbun sedangkan sanak famili atau sahabat hanya menaburkan bunga diatas tumpukan tanah kubur kita.
yen umaeh raono lawange turu dewe raono kancane, dandidalam kubur itu sangatlah gelap gulita, kita terbaring sendiri tak ada satupun yang menemani kecuali belatung dan cacing tanah yang siap untuk menggrogoti jasad kita, tonggo – tonggo podo yawing podo nangis koyo wong nembang, sedangkan sanak famili kerabat dan para tetangga tidak ada yang bisa mengubah takdir kematian itu keculi hanya memandangi dan menangisi kepergian kita, kehadapan Illahirrobbi yaitu Allah Swt.
Pada dasarnya setiap manusia itu akan mengalami kematian, seharusnya manusia itu tak harus berbangga diri atau takabur dengan apa yang dimiliki sekarang, karna semua itu hanya kesenangan duniawi belaka, dan tidak ada sejengkalpun dari harta benda kita yang dibawa mati kecuali amal shaleh kita, setelah mati jasad ini hanyalah makanan cacimg dan belatung semata jadi keanggunan paras itu tak ada artinya untuk dibanggakan.
Jadi hendaknya kita selalu ingat terhadap kematian agar kita tidak semena –mena dalam menapaki kehidupan ini, itulah ajakan yang disampaikan oleh penyair sholawatan jawa ini.
Unsur religi yang terkandung pada solawatan jawa sangatlah kental, karna disetiap bait – bait syair itu mengandung ajakan, nasehat dan meyakinkan tentang ajaran – ajaran islam yang sesungguyan, bentuk kalimat yang dipakai pada penyampainyapun sangatlah lugas dan mudah dipahami, karna kata – kata yang digunakan merupakan bahasa sehari – hari yang dibalut dengan syair – syair yang sangat indah







III.             PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pujian adalah istilah khas orang NU. Pujian adalah sanjungan untuk Allah. Dalam praktiknya, pujian bisa jadi kalimat yang mengandung pujian, namun yang sering kita dengar adalah lantunan shalawat nabi dengan nasyidnya. Kadang juga kita degar ungkapan ajaran/ pesan moral para Wali Songo, meski dengan bahasa  Jawa yang kental. Waktu pujian biasanya setelah adzan, sebelum shalat berjama’ah dan sudah sepantasnya kita mengagungkan Nabi Muhammad SAW, karena Nabi Muhammad memiliki kedudukan yang sangat istimewa di kalangan umat Islam. Di kalangan masyarakat Muslim Indonesia , kecintaan mereka kepada Nabi diwujudkan dalam tradisi keagamaan yang dikenal dengan tradisi shalawatan. Memuliakan Nabi, menghormati dan mencintai beliau, tidak dapat dipisahkan dari lubuk hati umat islam diseluruh dunia.           
B.     Kritik dan Saran
Demikian pemaparan makalah yang dapat disampaikan. Kami sebagai pemakalah menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih memiliki banyak kesalahan. Oleh Karena itu, kritik serta saran yang membangun sangat pemakalah harapkan demi kesempurnaan makalah yang selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat serta menambah wawasan keilmuan dan pengetahuan para pembaca amiin.












DAFTAR PUSTAKA
 Jamil Mukhsin.M . 2009. Syi’iran&TransmisiAjaran Islam di Jawa, Semarang: IAIN WALISONGO SEMARANG.
 Wargadinata, Wildan. 2010. Spiritualitas Salawat (Kajian Sosio-Sastra Nabi Muhammad SAW) .Malang: UIN-MALIKI PRESS (Anggota IKAPI).
Abdul. Munawir Fattah. 2007. Tradisi orang-orang NU. Yogyakarta: Pustaka Pesantren,
Anam. Khoirul A dkk. 2014.  Eniklopedia Nahdlatul Ulama, Jakarta: Mata Bangsa dan PBNU.





[1]M. MukhsinJamil, Syi’iran&TransmisiAjaran Islam di Jawa, (Semarang: IAIN WALISONGO SEMARANG, 2009), Hal. 31

[2] M. MukhsinJamil, Hal 41-42
[3]Wildan Wargadinata, Spiritualitas Salawat (Kajian Sosio-Sastra Nabi Muhammad SAW) , ( Malang: UIN-MALIKI PRESS (Anggota IKAPI).2010) hlm..220-222                
[4]Munawir Abdul Fattah, Tradisi orang-orang NU,( Yogyakarta: PustakaPesantren, 2007) hlm..202-205
[5]A. Khoirul Anam dkk, Eniklopedia Nahdlatul Ulama, ( Jakarta: Mata Bangsa dan PBNU, 2014) hlm..219
[6] M. MukhsinJamil, Hal... 42

Tidak ada komentar:

Posting Komentar